BREAKABLE


Andai mental memiliki bentuk utuh, aku yakin itu bukanlah milikku.

Tanganku dingin saat menuliskan entri kali ini, napasku terasa seperti mentol meski aku tidak sedang mengunyah permen penyegar manapun, kakiku kesemutan tapi itu mungkin karena aku duduk terlalu lama di lantai.

Aku tidak lagi merasakan kehadiran diriku yang lama, semangat yang dulu membara, nafsu yang dulu melenakan. Segalanya kini terasa palsu, aku tertawa lepas, dan rasanya memang menyenangkan. Namun tawaku terasa seperti helium tanpa balon, menguap dengan cepat di udara dan tak meninggalkan apapun untuk dilihat dan diingat.

Aku seorang calon psikolog muda, namun aku juga gagal dalam prosesnya. Sebelum menghadapi pasien jiwa yang sebenarnya, aku merasa sudah terkalahkan oleh diriku sendiri. Kegagalan, kecemasan, dan pesimisme menyerangku tiap detiknya, menerorku, memberiku tekanan melebihi apa yang sanggup kutahan.

Setiap jamnya aku mengingat untuk bunuh diri. Membayangkan sisa-sisa tubuhku ditemukan di dasar sungai dekat kampus, atau tercerai berai pada lintasan kereta api, atau tergolek tak bergerak di tanah dekat bangunan tertinggi di Yogyakarta. Bahkan yang paling sederhana: tidur abadi di kamarku sendiri di asrama karena keracunan.

Sambil tertawa, aku mengatakan pada teman-teman di sekelilingku kalau aku mungkin saja mengidap depresi. Berharap mereka akan mendengarkan dan memberikanku penguat untuk terus percaya pada diriku sendiri dan menjalani hidup dengan semangat, mungkin juga membantuku menyingkirkan kecemasan-kecemasan ini. Namun, mungkin karena didukung oleh sisi inferior dalam diriku,  aku tak melihat mereka melakukan itu semua. Mereka mungkin benar-benar mengangap kalau aku hanya bergurau dan tak menganggapnya sebagai hal serius. Aku tidak menyalahkan mereka.

Saat melihat gambar-gambar dari alat tes proyektif psikologi di kampus, aku melihat kilasan suram diriku sendiri di dalamnya. Saat itu, aku mengambil satu gambar dari tes proyeksi untuk anak-anak (Children's Apperception Test/CAT) dan membandingkan interpretasi dari gambar tersebut dengan temanku. Gambar tersebut menggambarkan dua anak beruang yang sedang tertidur bersama di satu ranjang bayi, ranjang yang berukuran lebih besar terletak tidak jauh dari ranjang bayi itu.

Hasil gambar untuk children's apperception test cards

Dalam interpretasiku, ranjang yang lebih besar tampak kosong. Sementara dua anak beruang tadi kelihatan murung. Seolah-olah mereka ditinggalkan sendirian oleh orang tua beruang yang takkan pernah pulang ke rumah, entah karena terbunuh di tangan pemburu atau terjatuh ke jurang atau apapun yang membunuh mereka di hutan saat sedang mencari makanan untuk anak-anak mereka. Dua anak beruang itu takkan punya orang tua untuk merawat mereka lagi.

Berbeda dengan interpretasi dari temanku. Ia mengatakan bahwa gambar itu bernuansa ceria. Dua anak beruang itu adalah boneka, sementara di ranjang yang besar, satu keluarga sedang tidur bersama.

Cukup dengan mengetahui jauhnya perbedaan interpretasiku dengan temanku, aku tahu bahwa ada yang tidak beres di dalam kepalaku. Aku terkejut, betapa hidupku tidak bisa lebih buruk lagi. Bahkan dalam menafsirkan gambar untuk anak-anak, aku tak bisa membendung perasaan pesimisku. Yang kupikirkan hanyalah penderitaan dan hal-hal buruk. Sama seperti tiap gambar dalam tes proyektif lainnya, hidupku terasa kelabu dan hitam, kehilangan warnanya.

Sisa hari itu kujalani dengan kemurungan dan air mata. Merasa konyol dengan perasaan sedih yang datang tanpa alasan yang jelas.

Menurutmu, aku harusnya pergi ke psikolog sungguhan untuk menceritakan masalahku, kan? Sungguh,  aku sudah memikirnya sejak jauh-jauh hari. Namun entah kenapa, aku yang sebagai calon psikolog ini justru tidak mempercayakan masalahku kepada psikolog yang lebih berpengalaman. Aku merasa tidak ada gunanya. Tak ada yang mengerti sejauah diriku mengerti tentang kondisiku sendiri. Tidak ada yang memahami perasaanku seperti aku memahaminya. Menceritakan pada orang lain takkan membantu, bahkan akan semakin memperburuknya. Mereka tidak merasakan siksaan mental seperti yang kurasakan. Terpenjara dalam kepalaku sendiri.

Aku rusak. Dan kurasa tak ada lagi yang mampu memperbaikinya. Aku tak lagi menaruh harapan pada frasa "Waktu akan menyembuhkan segalanya". Aku berharap diriku gila, setidaknya dengan begitu aku menjadi kebal terhadap perasaan-perasaan yang menyiksa ini. Namun, tentu saja, dengan segala anugerah yang kudapat, aku masih waras. Dan aku tidak senang.

Kondisi asramaku dan orang-orang di dalamnya semakin menyiksaku, menguatkan keyakinanku bahwa tak ada yang bisa dipercaya di dunia ini. Aku rentan terhadap penolakan, makian, kekecewaan, kendikan bahu, dan olok-olok dari orang lain. Aku lemah oleh nada tinggi dan agresivitas, seolah aku dapat pecah kapan saja. Aku mulai menjauhi orang-orang, berharap dengan melakukannya diriku akan berhenti merasa tersakiti.

Tapi tentu saja. Dunia tidak seramah itu.

Aku memikirkan kematianku yang kemudian akan disesali oleh orang-orang. Berharap mereka akan diselimuti rasa bersalah karena tidak menyadari penderitaanku dan jeritan tolong yang tak sanggup kusuarakan. Aku menjauhi orang-orang, namun aku juga ingin mereka mendekat dan memperhatikanku dengan tulus. Atau setidaknya, jika semua ini berakhir, mereka akan mengingatku dalam kematianku.

Hidupku ironi sekali.

Aku memang depresi, jiwaku tergerogoti oleh ketakutanku sendiri.

Dan aku juga jahat.

Aku mengerti bahwa masih ada orang yang menyayangiku, yang menginginkan kedamaian dan kebahagiaan untuk diriku. Aku menghargai dan menyayangi mereka juga, tapi semua itu tidak cukup untuk mengekang semua kekacauan ini. Aku sadar aku jahat karena, meski aku tahu mereka memberikan segalanya untukku, aku tetap mengkhianati mereka dengan menjadi rusak seperti sekarang. Membuat segala dukungan dan cinta yang mereka berikan terbuang sia-sia.

Hari-hari aku mengguratkan senyum di wajahku sendiri, melontarkan lelucon yang akan mengundang tawa orang lain. Aku berusaha melakukannya. Namun sikap tersebut justru menjadi pedang bermata dua untuk diriku sendiri. Orang-orang menceritakan masalahnya kepadaku karena meyakini bahwa aku akan mengerti dan memberikan solusi terbaik untuk permasalahan mereka. Dan itulah persisnya yang kulakukan. Namun, aku juga mengharapkan imbalan yang sama untukku dan tak ada yang datang untuk memberikannya.

Sebenarnya aku adalah selongsong kosong yang digerakkan tidak lebih selain oleh kecemasan. Aku bertahan hidup justru karena mengikuti paranoiaku sendiri. Menyedihkan rasanya, karena diperbudak oleh setanku sendiri dan tidak cukup kuat untuk melawannya. 

Komentar

Postingan Populer