People Pleaser: Saat Kita Hidup dari Validasi Orang Lain

Sebagai manusia, sudah selayaknya untuk memiliki kebutuhan akan rasa aman, kelekatan, perhatian serta kasih sayang dari orang lain untuk tetap dapat melanjutkan hidup dengan positif. Terkadang, muncul keinginan untuk membuat orang lain senang atas kehadiran kita atau atas apapun yang kita perbuat. Sanjungan, pengakuan, kemudian kenyataan bahwa mereka membutuhkan kita dalam kehidupan mereka secara tidak langsung memberikan perasaan puas dan secercah rasa berharga bagi kita.

Tidak masalah!

Perasaan berharga dapat bersumber dari mana saja. Baik dari orang-orang terdekat, pengemis yang mengucapkan terima kasih ketika kita membantunya, prestasi yang kita raih atas usaha keras kita, atau bahkan muncul langsung atas kesadaran bahwa diri kita memang berharga.

Namun, apa yang akan terjadi ketika kita terus menerus mencari perasaan kebutuhan akan perasaan berharga dari orang orang lain, lalu pelan-pelan mulai mengorbankan kebutuhan kita yang sebenarnya?

(Gambar: karya pribadi)

Karena khawatir dianggap buruk oleh orang lain, kita tidak mampu menolak jika dimintai bantuan meski saat itu kita juga memiliki keperluan mendesak. Atau saat kita tidak dapat menyuarakan ketidaksetujuan kita mengenai sesuatu karena takut menyinggung perasaan orang lain, padahal kita tahu bahwa pendapat kita mungkin saja membantu. Atau ketika kita sampai pada tahap berpura-pura menjadi pribadi yang berbeda agar kita dapat disukai oleh orang lain. Dari titik ini, teman-teman harus mulai waspada. Jangan-jangan kita sudah memiliki kecenderungan sebagai people pleaser.

Apa sih, people pleaser itu?

Orang-orang memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dihargai, terutama dalam suatu hubungan. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha agar kebutuhan tersebut terpenuhi dengan cara menyesuaikan diri dengan apa yang dibutuhkan lingkungan sosial mereka (Çıkrıkçı & Gençdoğan, 2022). Orang-orang dengan people pleaser akan merasa lebih baik jika dapat membantu orang lain, karena dari tindakan tersebut mereka akan merasa berguna dan dibutuhkan.

‘People pleaser’ atau dalam Bahasa Indonesia dapat disebut sebagai ‘pemuas kebutuhan orang lain‘, adalah suatu kecenderungan perilaku ketika seseorang berusaha untuk memenuhi keinginan orang lain hingga pada tahap ia mengabaikan kebutuhannya sendiri. Orang-orang dengan perilaku people pleaser mungkin akan berpikir bahwa kebutuhan mereka sendiri tidaklah penting, namun pengakuan dan validasi dari orang lain mengenai apa yang mereka lakukanlah yang penting (Deng et al., 2019).

Kenapa seseorang menjadi people pleaser?

Beberapa hal yang dapat mendasari munculnya perilaku ini adalah:

  • Penolakan

Penolakan terjadi ketika seseorang menerima umpan balik negatif dari lingkungan sosialnya. Hal ini bisa berupa pengucilan, pengabaian dan tidak diinginkan dalam ruang lingkup pergaulannya. Dampak dari penolakan ini akan berimbas pada penurunan harga diri dan nilai diri seseorang. Rasa sakit dari perasaan tertolak akan membuat seseorang merancang suatu solusi untuk menghindari rasa sakit tersebut (Deng et al., 2019; Leary, 2015). Oleh karena itu, orang-orang dengan kecenderungan people pleaser akan berusaha untuk meningkatkan harga dan nilai dirinya melalui pengakuan orang-orang yang berhasil ia bantu.

  • Kepribadian Dependen

Dependen atau kebergantungan merupakan jenis kepribadian yang dikarakateristikan dengan keinginan kuat untuk terhubung dengan orang lain, lalu dikombinasikan dengan ketakutan yang berlebihan akan kehilangan, perasaan tak berdaya, lemah, dan takut ditinggal (Deng et al., 2019; Zhang, 2022). Orang-orang dengan kepribadian dependen cenderung memberikan respon positif pada orang lain, mereka juga cenderung menghindari perdebatan dan memilih untuk sepakat dengan orang lain meski sebenarnya hal itu bertentangan dengan hatinya.

  • Pengalaman tidak menyenangkan

Kecenderungan people pleaser seringnya muncul akibat dari pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi pada kehidupan mereka di masa lalu. Perundungan, kekerasan, dipermalukan, dan dikucilkan saat kecil dapat menjadi sumber-sumber trauma yang mengarahkan pada kecenderungan patologis seperti people pleaser. Akibat pengalaman-pengalaman buruk tersebut, seseorang akan mendambakan rasa aman dari orang-orang di sekelilingnya dan berusaha sebisa mungkin untuk menjauhi kejadian yang sama terulang kembali saat mereka dewasa (Farrell, 2019).

  • Harga diri yang rendah

Penelitian menunjukkan bahwa harga diri berhubungan erat dengan perasaan saling memiliki dalam suatu hubungan sosial (Mazereel et al., 2021). Orang-orang dengan harga diri yang rendah cenderung digantungi oleh kebiasaan meragukan diri mereka sendiri, yang kemudian akan mempengaruhi mengenai pandangan mereka terhadap orang lain. Orang-orang dengan harga diri yang rendah lebih sensitif ketika mengalami penolakan dari orang lain (Lamarche & Seery, 2019).

  • Kesalahan berpikir

Kesalahan berpikir terjadi ketika seseorang selalu berpikir bahwa orang-orang akan memberikan respon yang buruk ketika mereka melakukan sesuatu. Kesalahan berpikir ini biasanya dipicu oleh kecemasan sosial, bahwa setiap orang akan menilai apapun yang kita lakukan dan kita selalu menganggap bahwa penilaian mereka senantiasa berujung negatif (Gu et al., 2020). Seseorang akan merasa takut untuk tidak dihargai dan ditinggalkan, sehingga ia cenderung sangat berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan berusaha sebisa mungkin untuk menyenangkan orang lain (Martínez et al., 2020).

  • Kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk secara akurat memproses emosi, memahami, meregulasi dan menampilkan emosi sebagai ekspresi dari pikiran. Dalam lingkup sosial, kecerdasan emosi berkaitan erat dengan kepuasan dalam hubungan sosial dan membentuk hubungan positif dengan orang lain (Moeller et al., 2020). Orang-orang yang tidak mampu memproses emosi dalam dirinya akan kesulitan untuk menentukan prioritas atas kebutuhannya sendiri, sehingga mereka akan bergantung pada validitas orang lain.

Berhenti menjadi people pleaser

Terjebak sebagai people pleaser bukan berarti bahwa seseorang tidak dapat berkembang. Sebaliknya, ini adalah kesempatan untuk melihat kembali perjalan hidup yang sudah berlalu untuk kemudian memilih jalur yang berbeda dan lebih baik.

Lalu, bagaimana caranya?

Pertama, kita butuh kesadaran bahwa kebutuhan kita sama pentingnya dengan orang lain. Peduli dengan diri sendiri tidak selalu berarti kita egois. Ada batasan-batasan yang harus kita terapkan. Ketika kita merasakan kelelahan dan beban mental setelah menolong banyak orang, jangan ragu untuk berhenti dan menolak permintaan orang lain.

Kedua, jangan takut terhadap kritik. Jangan berasumsi bahwa semua orang yang memberikan kritik itu juga membenci kita. Terima bahwa kita tidak harus sejalan dengan orang lain dalam segala hal. Terkadang ada saat ketika kita harus berdiri sendiri dan memilih pilihan yang berbeda dengan orang lain.

Ketiga, terima bahwa tidak selamanya orang-orang akan merasa senang dan bahagia. Bukan tanggung jawab kita untuk menjamin kebahagiaan orang lain setiap saat. Menolong orang lain adalah tindakan positif, namun sadari pula bahwa mengorbankan kebahagiaan kita demi orang lain juga salah.

Keempat, pupuklah hubungan dengan orang yang benar-benar dekat dengan kita. Orang-orang yang mau menerima kita apa adanya tanpa menilai kekurangan pada diri kita. Menjaga lingkaran sosial yang positif akan membantu kita untuk menjadi lebih percaya diri dan berani menyuarakan pendapat kita.

Terakhir, kenali diri kita sendiri. Terima emosi kita apa adanya karena hal tersebut valid. Kita tidak perlu bergantung pada penilaian orang lain untuk tahu apa yang kita butuhkan. Sadari bahwa kita hidup berdasarkan pilihan kita sendiri, bukan orang lain. Identifikasi nilai-nilai hidup yang akan kita pegang, apa yang kita sukai dan tidak sukai, apa yang hendak kita capai, lalu jalani hidup sepenuhnya berdasarkan nilai-nilai tersebut.




Reference:

  • Çıkrıkçı, Ö., & Gençdoğan, B. (2022). Clarifying the associations among belongingness, setting life goals, need satisfaction and positive orientations: The model testing in accordance with the attachment styles. Current Psychology41(2), 643–658. https://doi.org/10.1007/s12144-019-00587-1
  • Deng, Y., Wang, S., Leng, L., Chen, H., Yang, T., & Liu, X. (2019). Pleasing or withdrawing: Differences between dependent and self-critical depression in psychosocial functioning following rejection. Personality and Individual Differences140(19), 4–9. https://doi.org/10.1016/j.paid.2018.02.037
  • Farrell, M. A. (2019). Ellen Walser deLara: Bullying Scars: The Impact on Adult Life and Relationships. Journal of Youth and Adolescence48(5), 1028–1031. https://doi.org/10.1007/s10964-019-01016-z
  • Gu, R., Ao, X., Mo, L., & Zhang, D. (2020). Neural correlates of negative expectancy and impaired social feedback processing in social anxiety. Social Cognitive and Affective Neuroscience15(3), 285–291. https://doi.org/10.1093/scan/nsaa038
  • Lamarche, V. M., & Seery, M. D. (2019). Come on, give it to me baby: Self-esteem, narcissism, and endorsing sexual coercion following social rejection. Personality and Individual Differences149(October 2018), 315–325. https://doi.org/10.1016/j.paid.2019.05.060
  • Leary, M. R. (2015). Emotional responses to interpersonal rejection. Dialogues in Clinical Neuroscience17(4), 435–441. https://doi.org/10.31887/dcns.2015.17.4/mleary
  • Martínez, R., Senra, C., Fernández-Rey, J., & Merino, H. (2020). Sociotropy, autonomy and emotional symptoms in patients with major depression or generalized anxiety: The mediating role of rumination and immature defenses. International Journal of Environmental Research and Public Health17(16), 1–15. https://doi.org/10.3390/ijerph17165716
  • Mazereel, V., Vansteelandt, K., Menne-Lothmann, C., Decoster, J., Derom, C., Thiery, E., Rutten, B. P. F., Jacobs, N., van Os, J., Wichers, M., De Hert, M., Vancampfort, D., & van Winkel, R. (2021). The complex and dynamic interplay between self-esteem, belongingness and physical activity in daily life: An experience sampling study in adolescence and young adulthood. Mental Health and Physical Activity21(June), 100413. https://doi.org/10.1016/j.mhpa.2021.100413
  • Moeller, R. W., Seehuus, M., & Peisch, V. (2020). Emotional Intelligence, Belongingness, and Mental Health in College Students. Frontiers in Psychology11(January), 1–10. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00093
  • Zhang, X. (2022). Pursuit of Interpersonal Relationships Behavioral and Brain Response Correlates of Social Acceptance and Rejection Pursuit of Interpersonal Relationships Behavioral and Brain Response Correlates of Social. Dissertation of Education and Psychology Program.

Komentar

Postingan Populer