Sebuah Perjalanan Waktu untuk Menyelami Diri

Jika suatu saat aku bertemu kembali dengan diriku di 10 tahun yang lalu, aku pasti akan mengguncang bahunya dan berkata, “Hei, percayakah jika kamu ternyata dapat bertahan sampai umurmu 24 tahun? Bahkan lebih bahagia dari apapun?”.


(Sumber: karya pribadi)

Akan kukatakan pada diriku sendiri dari masa lalu bahwa hidup tidak seburuk yang pernah kami kira, bahwa kesialan memang tidak bisa dicegah, namun juga bahwa kebahagiaan tidak melulu berlangsung sementara. Bahagia itu relatif, dan bagaimana kita mempersepsikan kebahagian itulah yang bertindak sebagai jam pasirnya.

Melihat kembali kehidupan yang sudah berlalu, tidak terasa ternyata aku sudah berjalan di bumi ini selama itu. Pahit getir kehidupan, manis bahagia, bahkan kemotonan menghampiri kehidupanku satu persatu tanpa luput memunculkan emosi-emosi yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Diriku yang lama mungkin akan mengutuk berbagai emosi tersebut, menganggapnya sebagai sesuatu yang acak dan terus menerus terjadi tanpa dapat dihentikan. Diriku yang lama pasti membenci itu, karena perubahan bukanlah teman terdekatku saat itu.

Oh iya, selain perubahan, diriku yang lama juga membenci diriku sendiri.

Ada banyak sekali kebencian saat itu hingga rasanya menyesakkan. Diriku yang lama selalu berdoa agar hidupnya berakhir sebelum menyentuh angka 25. Diriku yang lama akan menghindar ketika orang-orang bertanya mengenai kabarnya. Diriku yang lama akan senang sekali memupuk kebencian terhadap berbagai aspek di dunia. Saat kini aku kembali menekuri semua itu di usiaku yang sekarang, aku hanya ingin memeluk diriku yang lama. Betapa kebencian terhadap kehidupan sudah membuat dirinya jauh terpuruk dan melupakan bahwa ada banyak hal yang berharga dalam hidup yang belum ia sadari.

Bukan berarti aku sepenuhnya dapat berhenti membenci diriku. Tapi setidaknya sekarang, aku mencoba berdamai dengannya. Mencoba menerima bagian-bagian yang tidak kusukai, menganggapnya seperti anggota tubuhku sendiri yang tidak mungkin bisa dilepas. Belajar untuk terus hidup beriringan, bersama segala kelemahanku. Benar-benar menerima.

Ayahku selalu mengatakan bahwa sejak kecil, aku adalah gadisnya yang paling tempramen. Wajahku lebih banyak tertekuk karena merengut daripada tersenyum. Aku adalah anaknya yang paling mudah terpicu emosinya. Saat bersama dengan keluarga besar yang lain, aku lebih sering diam dan duduk menyendiri. Kurasa saat itu mungkin aku juga mengeluarkan aura tidak menyenangkan pada semua orang. Saat itu, kupikir bibi dan pamanku bahkan tidak menyukai keberadaanku karena mereka jarang sekali menyapa. Benar-benar anak yang sulit sekali untuk diajak bicara.

Ibu juga menganggap demikian. Bagi beliau aku adalah anak yang paling sulit untuk diajak berkompromi. Karena ketika aku tidak setuju pada suatu hal, maka aku akan bersikap keras kepala dan memilih bungkam. Aku paling sulit dipaksa, meski itu untuk kebaikan diriku sendiri. Tidak hanya sekali Ibu akhirnya menangis akibat kekeraskepalaanku. Terkadang beliau sampai memohon agar aku mengerti lalu setuju pada apapun yang beliau tawarkan saat itu, tapi sudah kubilang bahwa aku ini keras kepala. Aku lebih memilih diam daripada mengatakan apapun pada Ibu.

Aku pernah sampai pada tahap membenci Ibuku sendiri. Sampai pada tahap bahwa aku tidak tahan untuk hidup satu atap dengan kedua orang tuaku. Saat itu mungkin umurku sekitar 13 tahun. Diriku yang sekarang meringis mengingat kenangan itu. Betapa sikapku yang keras kepala justru membangun tembok antara diriku dan keluargaku sendiri.

Aku tidak ingin membela diri. Tapi kupikir aku punya alasan mengapa dulu aku bersikap demikian. Diriku yang berumur 13 tahun merasa bahwa semua itu sudah tidak tertahankan, meski diriku yang berumur 24 tahun justru merasa bahwa pengalaman-pengalaman tersebut memang pantas untuk kulalui. Bahwa dengan semua pengalaman tidak menyenangkan itu, aku dapat tumbuh seperti sekarang. Bukan bijaksana, belum. Tapi setidaknya untuk memahami makna pada tiap kejadian.

Aku adalah anak sulung dari 3 bersaudari. Aku tumbuh sejak perekonomian keluargaku belum stabil hingga pada akhirnya kami dapat hidup berkecukupan saat ini. Jarak umurku dengan adik-adikku adalah sekitar 5 dan 10 tahun. Sejak kecil, aku menginginkan banyak hal seperi layaknya anak-anak lain seusiaku. Namun seringnya aku tidak berkesempatan mendapatkan semua itu. Bukan karena saat itu aku sadar mengenai kondisi finansial keluargaku, bukan, melainkan karena aku takut.

Ya, aku takut. Kepada orang tuaku.

Dulu, dimulai sejak aku berada di taman kanak-kanak, Ayah terbiasa memarahiku dengan sesekali menghukumku secara fisik jika aku bersikap nakal. Seringnya berupa pukulan dan tendangan. Beberapa kali aku mendapat hukuman dikurung di kamar mandi. Aku ingat aku menangis kencang sekali, tapi justru dihadiahi dengan lebih banyak pukulan. Jika masih menangis, Ayah akan mengancam mengurungku. Pernah suatu kali, kakiku diikat karena aku terlambat pulang dari bermain. Ayah marah sekali. Aku ingat mataku saat itu mencoba untuk mencari Ibu, meminta pertolongan padanya, meminta perlindungan dari Ayahku.

Namun, ketika aku berlari sambil menangis pada Ibu, beliau justru membentakku. Mengatakan bahwa aku harusnya mendengarkan Ayah dan berhenti menangis. Aku tidak tahu apakah anak kecil berumur 5 tahun dapat merasakan patah hati, tapi saat itu aku benar-benar merasa remuk. Pada akhirnya kakiku diikat dan aku ditinggal sendirian di ruang tamu. Sambil menangis, aku mengesot sambil mencari gunting, berusaha membebaskan kakiku sendiri. Setelah bebas, aku cuma bisa menangis sendirian di kamar.

Kini aku hanya dapat mengingat kejadian itu dengan getir. Fakta bahwa pengalaman itu tidak pernah hilang dari benakku menjadi bukti kalau luka yang ditorehkan begitu dalam.

Adik pertamaku lahir saat aku berumur 6 tahun. Aku senang sekali karena akhirnya aku punya teman baru. Adikku sangat lucu dan cantik. Aku sangat menyayanginya, begitu pula orang tuaku. Perhatian mereka sepenuhnya tercurah pada adikku. Aku tidak marah, karena aku menyayangi adikku dan aku bangga terhadap statusku sebagai kakak. Aku mulai tidak banyak meminta, aku selalu ingin membantu Ibu mengurus adikku. Aku menyanyikan nina bobo, tidur bersama adikku, mengajaknya berbicara, belajar mengganti popoknya, memberi makan bubur setiap kali ia lapar dan membuatkan susu ketika ia haus. Orang tuaku mulai jarang memarahiku dan aku senang atas itu.

Lalu adik keduaku lahir saat aku berumur 11 tahun. Lagi-lagi bayi perempuan yang lucu dan tembam. Adikku yang kedua juga sangat cantik. Sama seperti adikku yang pertama, aku juga merawatnya dengan suka cita. Aku menggendongnya, mengajaknya bermain bersama dengan adik pertamaku. Aku merasa sebagai kakak yang paling bahagia.

Sampai suatu ketika, tanganku agak meleset saat menggendongnya di atas kursi dan adikku terjatuh ke lantai. Suara benturan kepalanya dengan lantai sangat kencang, aku sangat panik adikku akan terluka. Saat itu, usianya mungkin baru 2 tahun. Ia menangis kencang, orang tuaku datang dan memarahiku. Ibu merenggut adik dari tanganku, lalu Ayah menarikku hingga berdiri dan memukulku.

Aku menangis, merasa tidak adil. Saat itu aku hanya ingin membuat adikku tertawa. Aku merasa bersalah, aku menyadari kelalaianku dan aku menyesal. Namun ketika aku ingin bicara, baik Ibu dan Ayah justru mengomeliku. Saat itu ada paman dan bibi yang menyaksikan. Aku ingat sekali bagaimana cara mereka memandangku, dan aku ingat merasa sangat sakit hati saat menyadari bahwa mereka takkan membelaku.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa benar-benar terkucilkan dari keluargaku sendiri. Di umurku yang ke-13 aku merasa diperlakukan tidak adil.

Ayah dan Ibu juga selalu melarangku melakukan apapun yang menurut mereka tidak ada gunanya. Aku tidak diperbolehkan menghadiri acara ulang tahun temanku, aku tidak boleh bermain terlalu lama, aku tidak boleh bermain terlalu jauh, dan banyak larangan lainnya. Sepanjang pertumbuhanku, segala keputusan selalu diambil oleh Ayah dan Ibu. Mereka tidak pernah mengizinkanku mengambil keputusanku sendiri.

Karena terbiasa diperlakukan seperti itu oleh orang tuaku, aku tumbuh menjadi anak yang penakut dan sulit untuk berbaur dengan anak-anak lain. Aku belajar untuk mengunci suaraku dan mengurung perasaanku jauh di dalam hati karena tidak ingin dipukul dan dimarahi. Berdebat tidak ada gunanya, karena ketika aku mencoba untuk menyuarakan pendapatku, sekejap mata orang tuaku akan memotongnya. Aku tidak pernah punya kesempatan untuk berbicara. Bahkan hanya untuk membela diriku sendiri pun tidak bisa. Aku menjadi tidak percaya diri.

Di umur 13 tahun, aku belajar untuk mengalah dan membangun tembok dengan orang tuaku sendiri. Aku menemukan hobi membaca saat itu, maka aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca di kamar sendirian. Jauh dari masalah. Aku berhenti bicara pada Ibuku, hanya bicara ketika perlu saja. Sisanya aku akan berjalan ke kamar tanpa mengatakan apa-apa. Namun ternyata, sikapku yang seperti itu justru membuat orang tuaku semakin tidak suka. Mereka pernah mengancam akan membakar buku-bukuku apabila aku terus seperti itu. Mereka sudah pernah membakar koleksi binderku saat aku masih kecil, jadi aku percaya dengan ancaman mereka.

Sekarang, di umur 24 tahun, aku menyadari alasan mengapa aku sangat mudah terpicu emosinya namun sulit untuk mengungkapkannya. Aku hanya bisa menunjukkannya lewat ekspresi, namun takkan pernah bisa menyuarakannya dalam kata-kata. Aku tidak terbiasa untuk itu, orang tuaku mendidikku agar tidak banyak protes.

Lalu apa yang menyebabkan semua ini terjadi?

Kelekatan yang terbentuk antara diriku dengan orang tua bukanlah tipe kelekatan yang baik. Ketika kelekatan harusnya dapat mendorong hubungan antara anak dan orang tua menjadi lebih baik, menjanjikan rasa aman dan terlindungi bagi anak (Agerup et al., 2015). Hal tersebut tidak terjadi dalam perkembanganku. Alih-alih mengembangkan kelekatan yang aman (secure attachment), masa kecilku diisi oleh kelekatan yang minim dan dipenuhi oleh perasaan tidak aman (insecure attachement).

Saat menilik lagi ke masa lalu, aku mengingat bahwa diriku di masa lalu mulai cenderung menunjukkan gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi. Meski saat itu, aku tidak mengerti betul apa yang kurasakan, yang kutahu hanya perasaan sedih berkepanjangan yang tidak pernah hilang sepenuhnya.

Perasaan itu terakumulasi begitu hebatnya sampai aku menginjak masa SMP, lalu dengan kenaifan anak usia 15 tahun, aku mencoba melukai diriku sendiri dengan benda tajam yang guratan bekas lukanya masih ada sampai saat ini. Saat itu yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar hatiku berhenti merasakan rasa sakit. Aku hanya ingin orang tuaku sadar akan keberadaanku, lalu menyayangi tanpa tuntutan apapun.

Sekarang, setelah aku memperdalam ilmu psikologi, khususnya mengenai Psikologi Sosial dan Emosi, aku tahu bahwa kelekatan yang tidak aman dengan orang tua memang berhubungan dengan kecenderungan depresi pada usia remaja maupun dewasa awal, lebih spesifiknya antara usia 15 hingga 20 tahun (Agerup et al., 2015).

Mengacu pada teori pola asuh dari Baumrind, yang membagi pola asuh ke dalam empat kelompok yakni autoritatif, authoritarian, permisif, dan pengabaian (Ebrahimi et al., 2017), aku dapat mengatakan kalau aku diasuh dengan tipe authoritarian. Apa itu? Yakni ketika orang tua mendidik anaknya dengan didikan yang keras, minim oleh kehangatan, afeksi dan kasih sayang tanpa syarat. Alih-alih, mereka memberikan tuntutan yang besar pada anak dengan menerapkan aturan dan batasan yang tidak boleh dilanggar, mereka juga cenderung menerapkan hukuman (Doinita & Maria, 2015).

Tidak mengherankan, ketika remaja, aku memilih untuk menghindari orang tuaku sendiri dan membangun tembok di antara kami. Sikap orang tuaku yang seringkali dingin, selalu marah, agresif, bahkan cenderung memberikan hukuman membuat diriku merasa tidak memiliki tempat untuk berlindung. Aku merasa sakit hati, frustasi, sedih, ketakutan, cemas dan kehilangan kepercayaan diri. Dari titik ini aku mulai mengembangkan avoidant attachment, sebuah tipe kelekatan yang maladaptif dan dikarakteristikkan dengan rendahnya kedekatan antara anak dan orang tua akibat konflik interpersonal yang terjadi di antara mereka (Ebrahimi et al., 2017). Akibatnya, anak cenderung menghindari terlibat dengan relasi di dekatnya, termasuk orang tua dan keluarga yang lain.

Ayah adalah sosok yang sangat mengedepankan disiplin. Hanya saja, cara beliau menerapkan disiplin saat aku kecil termasuk keras. Ayah tidak sungkan untuk memukulku ketika aku tidak menurut. Diriku di masa lalu mungkin akan dendam dan marah pada Ayah karena berlaku demikian. Namun diriku di masa kini hanya bisa mafhum. Bahwa beliau hanya melakukan apa yang diyakini beliau benar untuk mendisiplinkanku. Bisa saja akibat didikan yang beliau terima di masa lalu, bisa juga karena alasan lain yang tidak pernah bisa kutebak.

Andai saat itu beliau tahu, bahwa dengan memberikan hukuman fisik pada anaknya seperti memukul atau menendang, memaki, dan menunjukkan kekecewaan secara berlebihan dapat menuntun pada munculnya permasalahan pada perkembangan sosial dan emosi anaknya (Grusec et al., 2017). Mungkin agak terlambat bagi beliau untuk menyadari, mengingat sekarang aku sudah melewati fase tersebut dan telah berusaha menerimanya. Sebagian gangguan perkembangan emosi pun kurasa masih menetap hingga saat ini, tapi tidak apa, aku masih punya banyak waktu untuk menyelesaikannya.

Namun, dengan apa yang sudah kupelajari sejauh ini, aku takkan membiarkan hal yang sama terulang pada adik-adikku.

Aku menyayangi mereka lebih daripada apaun. Meski dalam beberapa kesempatan, mereka menyebalkan luar biasa. Aku selalu merasa bahwa aku adalah orang tua kedua mereka setelah Ayah dan Ibu. Aku selalu berusaha hadir untuk mereka, menjadi pelindung yang sebelumnya tak pernah kudapat saat masih anak-anak. Aku ingin mendengarkan cerita dari adik-adikku, baik yang menyenangkan atau tidak. Aku ingin berada dalam segala aspek kehidupan mereka dan memberikan segala hal yang sebelumnya luput kudapatkan dari orang tuaku.

Sejauh ini, Ayah sudah tidak pernah menghukum adik-adikku atau bahkan memukul mereka. Yah, meski beberapa kali aku sempat mendapati Ayah dan Ibu mengomeli mereka. Ketika kondisi sudah kurasa tidak mengenakkan, aku selalu menempatkan diri di antara mereka dan mengatakan “Biar saya aja yang ngomong sama adek”.

Aku tidak ingin adik-adikku mengalami siksaan emosional seperti diriku dulu. Meski terkadang mereka memang bersalah, aku akan menegur dengan cara yang takkan menyakiti hati mereka.

Cerita kali ini lumayan panjang, ya? Haha. Padahal ini belum mencakup semua yang ingin kuceritakan.

Yah, tapi jujur saja. Meski sempat menangis saat menulis beberapa entri dari blog ini, sekarang aku jauh merasa lebih lega. Siapa sangka, menyelami diri dapat begitu sangat menguras emosi, namun justru membuka ruang yang lebih lega di dalam diriku.

Diriku yang lama mungkin tidak pernah menduga kalau ia akan tumbuh menjadi gadis kuat seperti sekarang. Ia akan tercengang jika tahu kalau saat dewasa, ia akan mempelajari ilmu psikologi dan juga akan belajar untuk mengenal dirinya dengan lebih dalam, memaafkan dirinya di masa lalu. Secara khusus, aku sangat bersyukur karena telah memilih kelas Perkembangan Psikologi Sosial dan Emosi sebagai kelas peminatan di semester ini. Berkat Bu Novi dan teman-teman di kelas tersebut, aku belajar bahwa emosi berkembang sejak usia yang sangat dini. Dipupuk oleh situasi dan perlakuan orang-orang di sekitar kita.

Hal-hal yang tidak menyenangkan mungkin saja membuat beberapa aspek dalam perkembangan kita terhambat, namun bukan berarti bahwa kita akan berhenti untuk berkembang. Justru dari hal-hal tidak menyenangkan itu, kita seolah diberikan batu loncatan, agar kita dapat mengambil langkah yang berbeda lalu berkembang dengan lebih baik dari sebelumnya.

Seperti yang saya katakan di awal. Bahagia itu relatif. Perspektif kita akan kebahagiaanlah yang menentukan sejauh mana kita merasa pantas atas kebahagian tersebut. Apa yang terjadi di masa lalu, adalah sumber kekuatan dan kebahagiaan bagi diriku sekarang.

 

Sedikit referensi untuk tulisanku kali ini:

Agerup, T., Lydersen, S., Wallander, J., & Sund, A. M. (2015). Associations Between Parental Attachment and Course of Depression Between Adolescence and Young Adulthood. Child Psychiatry and Human Development, 46(4), 632–642. https://doi.org/10.1007/s10578-014-0506-y

Doinita, N. E., & Maria, N. D. (2015). Attachment and Parenting Styles. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 203, 199–204. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.08.282

Ebrahimi, L., Amiri, M., Mohamadlou, M., & Rezapur, R. (2017). Attachment Styles, Parenting Styles, and Depression. International Journal of Mental Health and Addiction, 15(5), 1064–1068. https://doi.org/10.1007/s11469-017-9770-y

Grusec, J. E., Danyliuk, T., Kil, H., & O’Neill, D. (2017). Perspectives on parent discipline and child outcomes. International Journal of Behavioral Development, 41(4), 465–471. https://doi.org/10.1177/0165025416681538

Komentar

Postingan Populer